Rabu, 21 Januari 2009

satu satu

satu satu
oleh iwan fals

Satu satu daun berguguran
Jatuh ke bumi dimakan usia
Tak terdengar tangis tak terdengar tawa
Redalah reda

Satu satu tunas muda bersemi
Mengisi hidup gantikan yang tua
Tak terdengar tangis tak terdengar tawa
Redalah reda

Waktu terus bergulir
Semuanya mesti terjadi
Daun daun berguguran
Tunas tunas muda bersemi

Satu satu daun jatuh kebumi
Satu satu tunas muda bersemi
Tak guna menangis tak guna tertawa
Redalah reda

Waktu terus bergulir
Kita akan pergi dan ditinggal pergi
Redalah tangis redalah tawa
Tunas tunas muda bersemi

Waktu terus bergulir
Semuanya mesti terjadi
Daun daun berguguran
Tunas tunas muda bersemi


testimoni seorang ugi: 21/1/2009

Satu Lagi yang Harus Mengalah Pada Sistem
 
Siang tadi saya kaget bukan main, tiba-tiba saja ada sms masuk dari nomor gsm yang belum sempat saya save. Sms tersebut berbunyi : Teman, sya mhn maaf klo slma tgs d bndg pny kesalahan. Mulai hari ini sya undur diri dr Sindo sekaligus pamitan krn hr ini jg sya plng k bali. Marilah gapai sukses dr tmpt yg berbeda. Trims teman. Usai membaca sms itu, saya jujur langsung terdiam dan berpikir-pikir siapa gerangan yang keluar dari Sindo menyusul Ulum yang memang sudah tidak “diinginkan” lagi di Sindo.
Kebetulan di Bandung hanya tingga duo Bali yaitu Mas Rohmat dan Putu. Setelah berpikir tentang siapa yang keluar. Saya pun putuskan untuk menghubungi salahsatu teman dan menanyakan kebeneran sms tersebut. Dia membenarkan dan memberitahu bahwa teman kita, Putu memilih keluar.

Sebelum sms yang tadi siang saya terima. Tanda-tanda ada yang hendak mengundurkan diri dari SINDO. Hal tersebut terbaca dari salahsatu situs pribadi awak SINDO Jabar. Berikut kutipannya, "Bos, aku mau ngobrol nih. Ga begitu penting sih...," kata anak ini. “Ehm...mau ngobrol apa? sepertinya, tetep penting nih," jawabku singkat. "Iya bos, aku mau resign. Sebenernya, sudah dipikirkan sejak Desember lalu. Tapi, baru sekarang diomonginnya. Aku juga sudah bawa suratnya," timpal dia. Jatuh lagi satu formasi kekuatan SINDO yang seharusnya bisa bertahan. Tapi, apa boleh buat. Surat pengunduran diri yang ada ditanganku sudahku baca. Tertanggal 19 Januari, anak ini mengajukan permohonan diri untuk "lepas" dari Satuan SINDO Jabar. Tidak tanggung-tanggung, surat super kilat ini, gw terima disaat semuanya memang tidak jelas.
Saya rasa, mungkin ini putusan yang tepat bagi Putu dimana dia harus memilih apakah tetap di Sindo dengan segala ketidakjelasan atau mundur dan mencari kehidupan di daerah asalnya, Bali . Satu sisi, saya marah dengan keputusan tersebut disaat kita butuh kebersamaan untuk membangun media ini. Namun disatu sisi juga saya tidak bisa menahannya karena saya bersama rekan-rekan lainya pun tidak tahu bagaimana penyelesaian dari masalah yang kita hadapi ini.

Namun alhamdulillah saya sempat bertemu dengan Putu sebelum dia naik bis dan pulang ke Bali . Hanya satu pesan saya untuknya, “Tetaplah jadi saudara, walau pun tidak satu media. Mungkin kita akan sama-sama mendoakan agar semuanya sukses dimedia masing-masing”. Selain itu, kita tetap satu saudara walaupun tidak satu media.
Mungkin Putu hanyalah salahsatu teman yang harus mengalah pada sistem yang semakin tidak jelas ini. Semoga dengan adanya rekan kita yang memilih untuk berpisah membuat pihak diatas sana berpikir dan memikirkan langkah ke depan agar kami yang dibawah merasa nyaman dan tenang. Tanpa dibayangi hal-hal yang membuat kita pesimis, takut bahkan hal yang lebih menyeramkan.

Semoga masalah ini cepat berlalu dan kita keluar dari badai yang selama ini membuat hati ini tidak tenang…….. Amien….

Sabtu, 17 Januari 2009

Matinya tukang kritik

Sebagai pemilik sebuah perusahaan, Aku mempunyai dua karyawan yang membuat selalu tersenyum sekaligus cemberut. Mereka biasa dipanggil si Tuno dan si Suto.

Si Tuno yang penurut, bisa membuat hati selalu tenang, tidak was-was. Setiap pekerjaan yang dibebankan padanya selalu dikerjakan. Tidak pernah ditolak, pun tidak membantah.

Selalu diam dan melaksanakan. Tidak peduli seberapa berat tugas yang diberikan, Ia selalu bersikap demikian. Sikap inilah yang selalu membuatku, selaku pemimpin merasa tenang.

Berkebalikan dari Tuno, karyawan perusahan satunya, Suto selalu membuatku cemberut, bahkan membuat tidak tenang. Bagimana tidak, setiap tugas yang ku berikan selalu dikritisi. Kurang ini itu, ada saja penilaian yang kurang dari tugas yang kuberikan.

Bahkan seringkali, kritik itu disampaikan di depan rapat bersama. Selaku pimpinan, keselamatan martabatku seolah tidak dihiraukan. Seenaknya Ia membuka mulut menyampaikan kritik.

Hiburan dan ketegangan yang dihasilkan dua manusia, Tuno dan Suto sudah ku rasakan cukup lama. Kalau tidak salah hitung, lebih dari setahun malah.

Tidak jarang, kesenangan dan ketegangan hasil keduanya ku bagikan pada istriku. Sekedar demi melepaskan ketegangan saraf yang dihasilkan keduanya.

Waktu terus berjalan, sampai akhirnya keteganganku bertambah. Tidak tahu berasal dari mana, kondisi keuangan perusahaan mulai terganggu. Hal ini menambah beban yang sebenarnya sudah cukup berat akibat ulah si Suto saja.

Ketegangan akibat beban akhir-akhir ini, ternyata tidak cukup berkurang meski sudah ku bagi dengan istriku. Sehari, seminggu, sebulan, setengah tahun ku bagi, ketegangan tak kunjung berkurang.

Hingga suatu saat, tepatnya ketika beol, ku mendapat inspirasi. Bagaimana kalau ku hilangkan salah satu beban satu dari dua beban itu. Beban ekonomi atau Suto. Apapun caranya, asalkan salah satu pemberat hilang.

Opsi pertama, mengatasi beban keuangan dengan jalan meminta karyawan bekerja keras. Cara ini dilakukan dengan harapan, kondisi keuangan perusahaan segera membaik.

Strategi ini ku rasa cukup ampuh. Tetapi nyatanya, ketika ku jalankan, sikap kritis si Suto tidak berkurang. Malahan, akibat kebijakan ini, sikap kritis itu berlipat. Dengan lantang ia berujar, karyawan harus dinaikkan haknya bila dituntut bekerja keras.

Bagaimana bisa menaikkan hak bila kondisi keuangan terganggu, jawabku dalam hati saat mendengar kritik dari Suto itu.

Strategi pertama jalan beberapa bulan, tetapi kondisi perusahaan tidak kunjung membaik.

Karena strategi pertama tidak berhasil, aku melakukan strategi kedua. Menghilangkan tukang kritik. Meski ini tidak signifikan membantu beban perusahaan, setidaknya bisa meringankan bebanku.

Aku tidak lagi direcoki dan dibebani kritik dari si Suto. Tekad bulat! Si tukang kritik ditendang dari perusahaan.

Beberapa waktu berlalu, bebanku berkurang. Aku bisa tersenyum, terlebih melihat si Tuno tetap menjadi pekerja penurut seperti sebelum-sebelumnya.

Kondisi kondusif ini sudah berlangsung beberapa bulan sejak si Suto hengkang. Meski kondusif, produk perusahaan tidak mengalami perbaikan. Kualitas sekarang, tidak berbeda dengan ketika Suto masih ada.

Hingga suatu saat, aku merasa, ketaatan karyawan yang masih ada, dilakukan semata untuk membuatku senang. Tidak mengkritik agar aku bisa selalu tersenyum. Tetapi di balik itu semua, mereka melakukan tugas semata untuk memenuhi standar minimal. Asal tugas selesai.

Prinsip asal tugas selesai inilah yang membuat kualitas tidak meningkat alias stagnan. Kalaupun dimintai pendapat, karyawan yang ada lebih memilih diam atau minimal mengeluarkan pendapat pemanis bibir, biar aku tenang.

Kondisi tenang stagnan ini terus berlangsung sampai aku beol pagi ini. Entah rutinitas membuang kotoran ke berapa terhitung sejak inspirasi mengurangi beban yang datang saat beol yang lalu.

Beol kali ini pun mendatangkan inspirasi, tepatnya refleksi. Bahwasannya, sikap diam tanpa semangat kritis para karyawan itu kontra produktif. Sebab rata-rata para taat-ers itu cenderung sebagai pengikut perintah.

Pun, saat di wc kali ini pun membuatku teringat istri. Saat pacaran dulu, mantan pacar ini taat, tidak banyak protes. Mau merokok, minum maupun begadang ia cuek aja, tidak pernah melarang.

Berbeda dengan sekarang, Ibuke calon anak ini mulai cerewet. Melarang merokok, melarang nongkrong begadang, minum, dsb. Ia beralasan semua larangan, kritikan itu disampaikan demi kebaikan. Agar aku memiliki hidup lebih panjang. Dan yang lebih utama karena, menurut pengakuan dia, larangan dan kritikan disampaikan karena rasa sayang.

Penjelasan istri itu, cukup bisa memicu senyum meski di wc yang bau, membuatku ingat ke tukang kritik. Kira-kira, apakah si Suto senang melakukan kritik karena sayang pada perusahaan? Bukan karena Ia memang hobi kritik? Belum sempat jawab ku peroleh, kaki sudah kesemutan.

Aku kesemutan akibat jongkok terlalu lama, meski sebenarnya aku beol di kloset duduk. Jangan ditertawakan, meski kelihatan modern ---selaku pemimpin perusahaan---, untuk urusan ini ---mungkin untuk masalah lain juga----, aku memilih jadi ndeso.

Tetap jongkok meski beol menggunakan wc duduk.

Jogja-17/1/08