Kamis, 19 Februari 2009

penumpang terakhir

Penumpang Terakhir
Masih Ada Kereta Lewat

Kawans,

Tak terasa waktu begitu cepat berlalu, hampir tujuh bulan sudah aku berlabuh dengan sekoci SINDO. Masih segar dalam ingatan bagaimana niat dan semangat plus harapan baru dari kawan-kawan seperjuagan trio Bali (Rohmat, Ulum dan Putu) tatkala menunaikan tugas berkarya di bumi parahyangan. Ya, berbekal tekat dan keyakinan kami, akan datangnya sesuatu yang akan bisa merubah perjalanan hidup kelak. Sesuatu yang bisa dibawa pulang dan membuat orang-orang terdekat, tersenyum lega. Pun orang tua, kakak adik, istri dan anak-anak dengan tulus mendoakan kepergian kami ke medan laga.

Pertama kali menginjakkan kaki, berbagai penyakit menyerang fisik dan mental. Mulai flu, dana menipis, stress karena betapa semrawutnya lalu lintas Bandung (Pak Dada gimana ini,) belum lagi dikejar deadline oleh perintah atasan hukum ankum mulai Pak Yogi beberapa redaktur hingga Pak Army, yang kadang membuat kita harus pandai-pandai mengatur nafas. Belum lagi sergapan home sick maklumlah, sudah beberapa bulan gagal menunaikan tugas sebagai suami yang baik,hehe. Untungnya, aroma human- persahabatan kawan-kawan Sindo Jabar terus ditebar sekian lama hingga membuat kami bisa bertahan, melawan kepenatan kejenuhan rutinitas. Pertanyaanya, lantas apa sesungguhnya hendak di cari dalam sekoci besar ini? Ya, pinjam istilah Ugi adalah mungkin kepastian.

Kepastian akan status karyawan hingga kapan gaji naik etc yang diterjemahkan secara normative, adalah tuntutan agar mendapat perlakuan lebih manusiawi, wajar dari Company, tempat kita mengais rejeki. Minimal,tuntutan kita adalah adanya perhatian wajar mengingat seluruh energi, tenaga, pikiran telah dikurbankan untuk semua ini.
Hidup dikota besar seperti Bandung, tidaklah ringan bung! Tidak ada sesuatu yang gratis, Makanya dapat dipahami jeritan para perantau seperti saya, bagaimana dengan gaji sebesar itu bisa mengatasai semua kebutuhan yang tidak bisa ditunda. Kalau nasib lagi mujur sih, ada saja kolega mau berbagi banyak hal pada kita, tapi apa ya bisa terus-terusan Bapak? Hehe,

Sampai akhirnya, satu persatu sahabatku pergi berani mengambil keputusan dan pilihan hidup. Saat ini, saya ibaratnya telah menjadi penumpang terakhir dalam konteks trio Bali. Kawans, dengan berat hati aku tidak lagi bisa berjuang bersama di sekoci Sindo. Banyak alasan, tentunya sudah jadi common sense di sini, tapi jika harus dibuat urutan paling atas adalah keluarga, baru lainnya termasuk isu kesejahteraan. Makin kusadari, betapa mahalnya arti kebersamaan keluarga, bagi kawan-kawan di Jabar, mungkin sudah hampir mendapatkannya karena bisa selalu berkumpul. Sementara aku?, ya hanya bisa berlama-lama by phone lewat program gratisan mentari,hehe. Eh, Kayaknya si Arif juga tuh ama yang di Kalimantan. Sedang untuk penyaluran lainnya mana tahan bung! Ah ngaco.

Jadilah, aku menyerah di tengah jalan karena masa kontrak perpanjangan kedua sejatinya baru berakhir Mei mendatang. Bagaimanapun, aku menarik hikmah besar selama bergabung di Sindo Jabar. Banyak asset Sindo yang mesti dijaga dan dikelola secara baik. Pak Army tolong lebih care dengan pendekatan human dalam mengurus anak buah. Sure, Pak Army tak ada yang disalahkan pada diri Anda, semua karena keadaan dan upaya Pak Army selama ini sudah cukup maksimal aku melihat benar-benar sudah tulus. Bagi saya pribadi, hal itu sanngat layak diapresiasi.

Juga kawan-kawan saya lainnya cukup hebat dan cerdas dengan ide-ide segar dan bervisi kedepan itu. Tidak hanya itu, kawan-kawan redaksi disini cukup smart dan punya selera humor tinggi dan memberi benyak pelajaran hidup. Kadang, saya tersenyum melihat tingkah polah kawan-kawan yang hangat dan akrab. “Barangkali memang begini gaya teman-teman mengekspresikan keakraban dan kehangatan,” gumamku. Senyum masih tersungging di bibirku ketika mendengar bagaimana Ugi dikeroyok rame-rame oleh Irvan dkk. Hebatnya, tidak ada rasa sakit hati diantara mereka. Candaan, joke dan serangan Wisnu terhadap Ugi dikemas cukup cerdas dan menghibur. Sementara Pak Gub Kris, hanya bisa senyum-senyum dan tertawa getir tidak berusaha menolong Ugi si penggila sepeda. Ada satu hal lagi, yang terus membuatku teringat bagaimana kuatnya kebersamaan dan rasa senasib dan seperjuangan teman-teman wartawan dibawah komando Pak Yogi dan dalam pengawalan Pak Army. Ya, aku juga masih terkenang lirik “kepompong” yang sempat menjadi lagu kebangsaan kami di redaksi lewat ponsel Nokia si Kris. Berkat lagu yang dipopulerkan Radi yang dikenal piawai dan cukup menggigit lewat tulisan-tulisan politik sarat hot issuenya, aku menyadari betapa penting dan mahalnya arti sebuah persahabatan.

Terakhir, sekedar mengingatkan apapun terjadi atau betapa beratnya hidup satu satu hal perlu diingat, kita tidak boleh berputus asa meski tidak ada harapan sekalipun. Pesan ini kukutip from Film Titanic, tatkala Rose Dowson harus berpisah dengan Jack pasca kapal termewah Titanic tenggelam menghantam gunung es. Ada pelajaran berharga dalam film itu yang bisa kita petik. Rose memilih melepas tangan Jack meski konsekuensinya harus berpisah selamanya dengan orang yang sangat dicintai. karena jika tetap bergenggaman tangan keduanya akan mati. Rose tidak mau menyerah dan mati karena tidak berbuat sama-sekali. Iapun bergerak dan berbuat sesuatu hingga akhirnya bisa bertahan hidup. Semangat itulah yang mesti kita kobarkan sampai kapanpun.
The Last, saya mohon maaf jika selama bersama di sekoci Sindo banyak berbuat salah dan dosa baik sengaja maupun tidak. Kita tetap saling berkomunikasi dan bertutur sapa. Jangan pernah lupakan dan sia-siakan kebersamaan ini karena kesempatan hidup itu mahal, tak ternilai harganya. Kita saling mendoakan moga tambah sukses meski kita tidak lagi satu sekoci. Mohon doanya saya harus pulang dengan sekoci baru di Denpasar. Suatu saat jika ada kawan-kawan yang sempat berpergian ke Bali jangan lupa, kontak kami disana ada saya bersama Bli Putu. Oke sukses semua

Jabat Erat
diambil dari posting saat pamitan 13/2/09

Kamis, 05 Februari 2009

surat dari gin gin tigin ginulur

Kawan...

Saya pamit. Hari ini saya mundur dari SINDO Jabar. Keresahan membuat saya mengambil jalan ini. Saya ternyata sudah tidak bisa lagi bertahan di tengah ketidakpastian. Tidak terlalu tangguh untuk menunggu dan tidak terlalu kuat buat tetap berjuang bersama-sama. Meski sudah berhenti berharap dan berusaha ikhlas sambil menunggu keajaiban, kegelisahan ini terus menggelayuti pikiran saya......



Kawan....

Selama hampir dua tahun berlayar bersama dalam satu perahu, saya mendapat banyak pelajaran berarti. Sungguh, saya tidak akan pernah melupakan itu. Sebuah pelayaran yang sangat menyenangkan, meski kerap diterjang badai dan angin kencang. Tapi hidup penuh pilihan dan saya memilih turun dari perahu. Saya mohon maaf kalau ada khilaf dan salah saat kita berlayar bersama-sama. Mudah-mudahan ini jalan yang terbaik. Doakan saya kawan. Semoga perahu itu masih tetap bertahan dan matahari memberikan kabar baik.....


Gin gin Tigin Ginulur
05/02/09

Rabu, 21 Januari 2009

satu satu

satu satu
oleh iwan fals

Satu satu daun berguguran
Jatuh ke bumi dimakan usia
Tak terdengar tangis tak terdengar tawa
Redalah reda

Satu satu tunas muda bersemi
Mengisi hidup gantikan yang tua
Tak terdengar tangis tak terdengar tawa
Redalah reda

Waktu terus bergulir
Semuanya mesti terjadi
Daun daun berguguran
Tunas tunas muda bersemi

Satu satu daun jatuh kebumi
Satu satu tunas muda bersemi
Tak guna menangis tak guna tertawa
Redalah reda

Waktu terus bergulir
Kita akan pergi dan ditinggal pergi
Redalah tangis redalah tawa
Tunas tunas muda bersemi

Waktu terus bergulir
Semuanya mesti terjadi
Daun daun berguguran
Tunas tunas muda bersemi


testimoni seorang ugi: 21/1/2009

Satu Lagi yang Harus Mengalah Pada Sistem
 
Siang tadi saya kaget bukan main, tiba-tiba saja ada sms masuk dari nomor gsm yang belum sempat saya save. Sms tersebut berbunyi : Teman, sya mhn maaf klo slma tgs d bndg pny kesalahan. Mulai hari ini sya undur diri dr Sindo sekaligus pamitan krn hr ini jg sya plng k bali. Marilah gapai sukses dr tmpt yg berbeda. Trims teman. Usai membaca sms itu, saya jujur langsung terdiam dan berpikir-pikir siapa gerangan yang keluar dari Sindo menyusul Ulum yang memang sudah tidak “diinginkan” lagi di Sindo.
Kebetulan di Bandung hanya tingga duo Bali yaitu Mas Rohmat dan Putu. Setelah berpikir tentang siapa yang keluar. Saya pun putuskan untuk menghubungi salahsatu teman dan menanyakan kebeneran sms tersebut. Dia membenarkan dan memberitahu bahwa teman kita, Putu memilih keluar.

Sebelum sms yang tadi siang saya terima. Tanda-tanda ada yang hendak mengundurkan diri dari SINDO. Hal tersebut terbaca dari salahsatu situs pribadi awak SINDO Jabar. Berikut kutipannya, "Bos, aku mau ngobrol nih. Ga begitu penting sih...," kata anak ini. “Ehm...mau ngobrol apa? sepertinya, tetep penting nih," jawabku singkat. "Iya bos, aku mau resign. Sebenernya, sudah dipikirkan sejak Desember lalu. Tapi, baru sekarang diomonginnya. Aku juga sudah bawa suratnya," timpal dia. Jatuh lagi satu formasi kekuatan SINDO yang seharusnya bisa bertahan. Tapi, apa boleh buat. Surat pengunduran diri yang ada ditanganku sudahku baca. Tertanggal 19 Januari, anak ini mengajukan permohonan diri untuk "lepas" dari Satuan SINDO Jabar. Tidak tanggung-tanggung, surat super kilat ini, gw terima disaat semuanya memang tidak jelas.
Saya rasa, mungkin ini putusan yang tepat bagi Putu dimana dia harus memilih apakah tetap di Sindo dengan segala ketidakjelasan atau mundur dan mencari kehidupan di daerah asalnya, Bali . Satu sisi, saya marah dengan keputusan tersebut disaat kita butuh kebersamaan untuk membangun media ini. Namun disatu sisi juga saya tidak bisa menahannya karena saya bersama rekan-rekan lainya pun tidak tahu bagaimana penyelesaian dari masalah yang kita hadapi ini.

Namun alhamdulillah saya sempat bertemu dengan Putu sebelum dia naik bis dan pulang ke Bali . Hanya satu pesan saya untuknya, “Tetaplah jadi saudara, walau pun tidak satu media. Mungkin kita akan sama-sama mendoakan agar semuanya sukses dimedia masing-masing”. Selain itu, kita tetap satu saudara walaupun tidak satu media.
Mungkin Putu hanyalah salahsatu teman yang harus mengalah pada sistem yang semakin tidak jelas ini. Semoga dengan adanya rekan kita yang memilih untuk berpisah membuat pihak diatas sana berpikir dan memikirkan langkah ke depan agar kami yang dibawah merasa nyaman dan tenang. Tanpa dibayangi hal-hal yang membuat kita pesimis, takut bahkan hal yang lebih menyeramkan.

Semoga masalah ini cepat berlalu dan kita keluar dari badai yang selama ini membuat hati ini tidak tenang…….. Amien….

Sabtu, 17 Januari 2009

Matinya tukang kritik

Sebagai pemilik sebuah perusahaan, Aku mempunyai dua karyawan yang membuat selalu tersenyum sekaligus cemberut. Mereka biasa dipanggil si Tuno dan si Suto.

Si Tuno yang penurut, bisa membuat hati selalu tenang, tidak was-was. Setiap pekerjaan yang dibebankan padanya selalu dikerjakan. Tidak pernah ditolak, pun tidak membantah.

Selalu diam dan melaksanakan. Tidak peduli seberapa berat tugas yang diberikan, Ia selalu bersikap demikian. Sikap inilah yang selalu membuatku, selaku pemimpin merasa tenang.

Berkebalikan dari Tuno, karyawan perusahan satunya, Suto selalu membuatku cemberut, bahkan membuat tidak tenang. Bagimana tidak, setiap tugas yang ku berikan selalu dikritisi. Kurang ini itu, ada saja penilaian yang kurang dari tugas yang kuberikan.

Bahkan seringkali, kritik itu disampaikan di depan rapat bersama. Selaku pimpinan, keselamatan martabatku seolah tidak dihiraukan. Seenaknya Ia membuka mulut menyampaikan kritik.

Hiburan dan ketegangan yang dihasilkan dua manusia, Tuno dan Suto sudah ku rasakan cukup lama. Kalau tidak salah hitung, lebih dari setahun malah.

Tidak jarang, kesenangan dan ketegangan hasil keduanya ku bagikan pada istriku. Sekedar demi melepaskan ketegangan saraf yang dihasilkan keduanya.

Waktu terus berjalan, sampai akhirnya keteganganku bertambah. Tidak tahu berasal dari mana, kondisi keuangan perusahaan mulai terganggu. Hal ini menambah beban yang sebenarnya sudah cukup berat akibat ulah si Suto saja.

Ketegangan akibat beban akhir-akhir ini, ternyata tidak cukup berkurang meski sudah ku bagi dengan istriku. Sehari, seminggu, sebulan, setengah tahun ku bagi, ketegangan tak kunjung berkurang.

Hingga suatu saat, tepatnya ketika beol, ku mendapat inspirasi. Bagaimana kalau ku hilangkan salah satu beban satu dari dua beban itu. Beban ekonomi atau Suto. Apapun caranya, asalkan salah satu pemberat hilang.

Opsi pertama, mengatasi beban keuangan dengan jalan meminta karyawan bekerja keras. Cara ini dilakukan dengan harapan, kondisi keuangan perusahaan segera membaik.

Strategi ini ku rasa cukup ampuh. Tetapi nyatanya, ketika ku jalankan, sikap kritis si Suto tidak berkurang. Malahan, akibat kebijakan ini, sikap kritis itu berlipat. Dengan lantang ia berujar, karyawan harus dinaikkan haknya bila dituntut bekerja keras.

Bagaimana bisa menaikkan hak bila kondisi keuangan terganggu, jawabku dalam hati saat mendengar kritik dari Suto itu.

Strategi pertama jalan beberapa bulan, tetapi kondisi perusahaan tidak kunjung membaik.

Karena strategi pertama tidak berhasil, aku melakukan strategi kedua. Menghilangkan tukang kritik. Meski ini tidak signifikan membantu beban perusahaan, setidaknya bisa meringankan bebanku.

Aku tidak lagi direcoki dan dibebani kritik dari si Suto. Tekad bulat! Si tukang kritik ditendang dari perusahaan.

Beberapa waktu berlalu, bebanku berkurang. Aku bisa tersenyum, terlebih melihat si Tuno tetap menjadi pekerja penurut seperti sebelum-sebelumnya.

Kondisi kondusif ini sudah berlangsung beberapa bulan sejak si Suto hengkang. Meski kondusif, produk perusahaan tidak mengalami perbaikan. Kualitas sekarang, tidak berbeda dengan ketika Suto masih ada.

Hingga suatu saat, aku merasa, ketaatan karyawan yang masih ada, dilakukan semata untuk membuatku senang. Tidak mengkritik agar aku bisa selalu tersenyum. Tetapi di balik itu semua, mereka melakukan tugas semata untuk memenuhi standar minimal. Asal tugas selesai.

Prinsip asal tugas selesai inilah yang membuat kualitas tidak meningkat alias stagnan. Kalaupun dimintai pendapat, karyawan yang ada lebih memilih diam atau minimal mengeluarkan pendapat pemanis bibir, biar aku tenang.

Kondisi tenang stagnan ini terus berlangsung sampai aku beol pagi ini. Entah rutinitas membuang kotoran ke berapa terhitung sejak inspirasi mengurangi beban yang datang saat beol yang lalu.

Beol kali ini pun mendatangkan inspirasi, tepatnya refleksi. Bahwasannya, sikap diam tanpa semangat kritis para karyawan itu kontra produktif. Sebab rata-rata para taat-ers itu cenderung sebagai pengikut perintah.

Pun, saat di wc kali ini pun membuatku teringat istri. Saat pacaran dulu, mantan pacar ini taat, tidak banyak protes. Mau merokok, minum maupun begadang ia cuek aja, tidak pernah melarang.

Berbeda dengan sekarang, Ibuke calon anak ini mulai cerewet. Melarang merokok, melarang nongkrong begadang, minum, dsb. Ia beralasan semua larangan, kritikan itu disampaikan demi kebaikan. Agar aku memiliki hidup lebih panjang. Dan yang lebih utama karena, menurut pengakuan dia, larangan dan kritikan disampaikan karena rasa sayang.

Penjelasan istri itu, cukup bisa memicu senyum meski di wc yang bau, membuatku ingat ke tukang kritik. Kira-kira, apakah si Suto senang melakukan kritik karena sayang pada perusahaan? Bukan karena Ia memang hobi kritik? Belum sempat jawab ku peroleh, kaki sudah kesemutan.

Aku kesemutan akibat jongkok terlalu lama, meski sebenarnya aku beol di kloset duduk. Jangan ditertawakan, meski kelihatan modern ---selaku pemimpin perusahaan---, untuk urusan ini ---mungkin untuk masalah lain juga----, aku memilih jadi ndeso.

Tetap jongkok meski beol menggunakan wc duduk.

Jogja-17/1/08

Sabtu, 22 November 2008

(tak) adil sejak dalam pikiran

Rabu (19/11/08) sekitar pukul 20.00 wib, redaktur Sindo Jabar Army, telfon. Dia bercerita dan tanya seputar tidak diperpanjang kontrak. Menurut penelurusan dia, setelah tanya Nevy dan Jaka, aku tidak diperpanjang akibat attitude.

Attutude yang dimaksud, saat muncul kasus Bali, aku termasuk salah satu yang vocal mengadvokasi keenam wartawan bali yang kontrak kerja tidak diperpanjang. Adapun standar semisal, penilaian berita, kemampuan dsb tidak menjadi pertimbangan tidak diperpanjangnya kontrak kerjaku.

Saat di Bali, aku memang pernah bertemu dengan Nevy membahas perihal nasib wartawan Sindo Bali setelah gagal terbitnya edisi di sana. Dalam pertemuan itu, Nevy datang dengan Dovy. Dalam pertemuan, sempat terjadi ketegangan kecil, pasalnya Nevy dan Dovy membawa keputusan final pemberhentian keenam wartawan Sindo Bali. Adapun wartawan Sindo Bali meminta keenam wartawan tidak diberhentikan.

Ketegangan ini mencair dengan dihasilkan win-win solution: sebagian besar wartawan Sindo Bali bersedia dipindah ke kantor Sindo lain se Indonesia. Adapun sebagian kecil tetap di bali sebagai kontributor. Tetapi solusi ini urung dilaksanakan, lalu muncullah kronologis kasus Sindo Bali di beberapa milis. Hasilnya sebagian wartawan Sindo Bali yang tidak diperpanjang kala itu 'diselamatkan' dan diberi kompensasi.

Ketegangan inilah – berdasar obrolanku dengan Army – dijadikan dasar pemutusan hubungan kerjaku.

Seusai ngobrol dengan Army, Aku mencoba mengubungi pimred, Sururi. Meski sempat mengangkat telepon, aku tidak bisa ngobrol. Sebab Sururi ketika itu sedang rapat.**** "Seorang terpelajar harus adil sejak dalam pikiran", pram, bumi manusia.

surat(an) tak berjawab

Tulisan ini saya kirim ke salah satu redaktur di Jakarta (18/11)dan tak berjawab

******

Sugeng dalu. Mas aku Miftahul Ulum, wartawan Sindo Bali sekarang diperbantukan di Biro Jabar. Aku ate curhat ki. Critane, Senin (17/11/08) ada surat yang diberikan ke aku melalui kepala biro jabar, Denis. Isi surat lumayan mengagetkan, aku ndak diperpanjang kontrak.

Trus spontan ku tanya ma Denis dan kepala redaksi Yogi, yang saat itu ngobrol di ruangan kabiro bertiga. Apa dari Jakarta minta penilaian tentang masalah tidak diperpanjangnya kontrakku. Mereka jawab, tidak. Bahkan, mereka merekomendasikan dua wartawan Jabar lain untuk tidak diperpanjang.

Mendengar itu, aku langsung berfikir, trus apa dasar penilaian tidak diperpanjang kontrakku? Padahal sejak Juli aku sudah dipindah dari Bali ke Bandung.

Sehari sebelumnya, kita redaksi Sindo Jabar rapat dengan redaktur, Army. Saat rapat, Dia juga mengatakan tidak tahu menahu penilaian wartawan yang diperbantukan ke Jabar dari Bali. Menurut sampeyan piye lek koyo ngono?

Sekedar latar belakang, saat gabung di Sindo Bali, statusku masih kerja di harian Nusa Bali. Aku ditawari Warno dan Sunu, jarane sih enak, akhirnya aku mau. Meski sudah pasti gabung, aku tidak langsung mengundurkan diri, sampai suatu saat didesak dari Jakarta untuk segera mengundurkan. Hidup pilihan, akhirnya aku resend trus gabung.

Eh tujuh bulan lebih di Bali, Sindo Bali tidak juga terbit. Sampai akhirnya dikirimlah aku ke Bandung. Hampir empat bulan di Bandung, taunya tidak diperpanjang. Menurut petaku, rekomendasi tidak diperpanjang pasti terbit dari redaksi, hrd tinggal acc.

Sejauh ini info ini memang belum menyebar ke pihak luar. Tetapi tidak menutup kemungkinan, sebab aku harus cari perahu –maklum ngopeni bojo. Pointnya, semoga sampean bisa kasi sedikit gambaran bahkan kalo bisa solusi atas kasus iki. Segitu dulu, suwun.****

Selasa, 11 November 2008

job desk dan penilaian

Empat jam lalu, selasa (11/11) sekitar pukul 22.00 Wib, redaksi jabar melakukan rapat redaksi plus. Terdiri dari, aku, yugi p, wisnoe m, mudasir, krisnadi, putu n, opik, iwa s, rahmat, radi, arip, eko, yogi, raka plus redaktur jabar army.

Materi rapat tersusun dari, budgeting berita dan pemaparan penilaian redaksi. Hasil budgeting: menugaskan follow up hl halaman 1 tentang persib dan pembangunan GOR gedebage (radi, kris, opik), demo buruh (ugi, radi), film iran paris van java (wisnoe), FFI (kris, ulum).

Dibanding anggota redaksi lain, aku dan wisnoe adalah reporter yang tidak mempunyai pos jelas. Tugas kami mengerjakan halaman metropolitan bandung atau dikenal halaman 13. Entah bagaimana ceritanya, akhirnya kami berdua seolah bertanggungjawab ada tidaknya HL halaman itu.

Selain 13, halaman metropolitan bandung terdiri dari halaman 14, 15. Ketiga halaman ini melibatkan 7 wartawan, kris (pemkot bandung), yugi (kriminal), iwa (kab bandung dan cimahi), dede (mall), adi (KBB), wisnoe dan ulum (ndak jelas asal dapat HL saja).

Meski bertugas membuat HL, tidak jarang beberapa kejadian menggeser HL by design kita berdua. Ini tidak masalah tetapi bikin kesel, kita susah2 nyari isu (tanpa bimbingan asred) eh tau2 digeser......

Kondisi tanpa pos lambat laun berimbas pada penilaian. Pada rapat redaksi plus kali ini, pertama kali aku mengetahui kriteria penilaian SINDO. Meski, aku bergabung lebih dari 11 bulan.

Penilaian setiap reporter dilakukan oleh asred n redaktur. Ada empat faktor penilaian: penulisan, produktifitas, kerjasama dan kualitas. Keempat faktor itu masing2 digolongkan dengan penilaian A (baik), B (sedang) dan C (cukup).

Berdasar pengakuan redaktur, Army, faktor penulisan dinilai dari tulisan reporter sudahkah enak dibaca, urut, logika tidak membingungkan. Produktifitas ditandai tidak bobol, tidak mangkir. Kerjasama ditandai enak dihubungi, ditelp slalu ngangkat, dsb. Kualitas akumulasi tiga faktor sebelumnya.

Dia memaparkan, penilaian kinerja yang berpengaruh pada tunjangan prestasi (maks Rp 500 ribu) ini banyak dipengaruhi subyektifitas si pemberi nilai.

Terlepas dari kelemahan itu, hasil penilaian redaksi, terutama soal kinerjaku, aku anggap kurang memuaskan. Bulan Agustus 2008, keempat nilai bertengger di level B. Penurunan terjadi pada bulan September, faktor produktifitas dinilai C, sedangkan faktor lain dinilai B.

Bisa jadi penurunan penilaian ini akibat perpindahan pos. Bulan Agustus aku ditugaskan pada pos pilkada, mengawal Hudaya. September ditugaskan di halaman metropolitan yang nota bene tidak jelas tugas dan tanggungjawabnya.

Aku berpendapat ketiadaan job desk yang jelas ini menyebabkan kebutuhan untuk aktualisasi diri tidak terpenuhi. Kondisi ini berimbas ke kinerja yang terus menurun.***