Sabtu, 17 Januari 2009

Matinya tukang kritik

Sebagai pemilik sebuah perusahaan, Aku mempunyai dua karyawan yang membuat selalu tersenyum sekaligus cemberut. Mereka biasa dipanggil si Tuno dan si Suto.

Si Tuno yang penurut, bisa membuat hati selalu tenang, tidak was-was. Setiap pekerjaan yang dibebankan padanya selalu dikerjakan. Tidak pernah ditolak, pun tidak membantah.

Selalu diam dan melaksanakan. Tidak peduli seberapa berat tugas yang diberikan, Ia selalu bersikap demikian. Sikap inilah yang selalu membuatku, selaku pemimpin merasa tenang.

Berkebalikan dari Tuno, karyawan perusahan satunya, Suto selalu membuatku cemberut, bahkan membuat tidak tenang. Bagimana tidak, setiap tugas yang ku berikan selalu dikritisi. Kurang ini itu, ada saja penilaian yang kurang dari tugas yang kuberikan.

Bahkan seringkali, kritik itu disampaikan di depan rapat bersama. Selaku pimpinan, keselamatan martabatku seolah tidak dihiraukan. Seenaknya Ia membuka mulut menyampaikan kritik.

Hiburan dan ketegangan yang dihasilkan dua manusia, Tuno dan Suto sudah ku rasakan cukup lama. Kalau tidak salah hitung, lebih dari setahun malah.

Tidak jarang, kesenangan dan ketegangan hasil keduanya ku bagikan pada istriku. Sekedar demi melepaskan ketegangan saraf yang dihasilkan keduanya.

Waktu terus berjalan, sampai akhirnya keteganganku bertambah. Tidak tahu berasal dari mana, kondisi keuangan perusahaan mulai terganggu. Hal ini menambah beban yang sebenarnya sudah cukup berat akibat ulah si Suto saja.

Ketegangan akibat beban akhir-akhir ini, ternyata tidak cukup berkurang meski sudah ku bagi dengan istriku. Sehari, seminggu, sebulan, setengah tahun ku bagi, ketegangan tak kunjung berkurang.

Hingga suatu saat, tepatnya ketika beol, ku mendapat inspirasi. Bagaimana kalau ku hilangkan salah satu beban satu dari dua beban itu. Beban ekonomi atau Suto. Apapun caranya, asalkan salah satu pemberat hilang.

Opsi pertama, mengatasi beban keuangan dengan jalan meminta karyawan bekerja keras. Cara ini dilakukan dengan harapan, kondisi keuangan perusahaan segera membaik.

Strategi ini ku rasa cukup ampuh. Tetapi nyatanya, ketika ku jalankan, sikap kritis si Suto tidak berkurang. Malahan, akibat kebijakan ini, sikap kritis itu berlipat. Dengan lantang ia berujar, karyawan harus dinaikkan haknya bila dituntut bekerja keras.

Bagaimana bisa menaikkan hak bila kondisi keuangan terganggu, jawabku dalam hati saat mendengar kritik dari Suto itu.

Strategi pertama jalan beberapa bulan, tetapi kondisi perusahaan tidak kunjung membaik.

Karena strategi pertama tidak berhasil, aku melakukan strategi kedua. Menghilangkan tukang kritik. Meski ini tidak signifikan membantu beban perusahaan, setidaknya bisa meringankan bebanku.

Aku tidak lagi direcoki dan dibebani kritik dari si Suto. Tekad bulat! Si tukang kritik ditendang dari perusahaan.

Beberapa waktu berlalu, bebanku berkurang. Aku bisa tersenyum, terlebih melihat si Tuno tetap menjadi pekerja penurut seperti sebelum-sebelumnya.

Kondisi kondusif ini sudah berlangsung beberapa bulan sejak si Suto hengkang. Meski kondusif, produk perusahaan tidak mengalami perbaikan. Kualitas sekarang, tidak berbeda dengan ketika Suto masih ada.

Hingga suatu saat, aku merasa, ketaatan karyawan yang masih ada, dilakukan semata untuk membuatku senang. Tidak mengkritik agar aku bisa selalu tersenyum. Tetapi di balik itu semua, mereka melakukan tugas semata untuk memenuhi standar minimal. Asal tugas selesai.

Prinsip asal tugas selesai inilah yang membuat kualitas tidak meningkat alias stagnan. Kalaupun dimintai pendapat, karyawan yang ada lebih memilih diam atau minimal mengeluarkan pendapat pemanis bibir, biar aku tenang.

Kondisi tenang stagnan ini terus berlangsung sampai aku beol pagi ini. Entah rutinitas membuang kotoran ke berapa terhitung sejak inspirasi mengurangi beban yang datang saat beol yang lalu.

Beol kali ini pun mendatangkan inspirasi, tepatnya refleksi. Bahwasannya, sikap diam tanpa semangat kritis para karyawan itu kontra produktif. Sebab rata-rata para taat-ers itu cenderung sebagai pengikut perintah.

Pun, saat di wc kali ini pun membuatku teringat istri. Saat pacaran dulu, mantan pacar ini taat, tidak banyak protes. Mau merokok, minum maupun begadang ia cuek aja, tidak pernah melarang.

Berbeda dengan sekarang, Ibuke calon anak ini mulai cerewet. Melarang merokok, melarang nongkrong begadang, minum, dsb. Ia beralasan semua larangan, kritikan itu disampaikan demi kebaikan. Agar aku memiliki hidup lebih panjang. Dan yang lebih utama karena, menurut pengakuan dia, larangan dan kritikan disampaikan karena rasa sayang.

Penjelasan istri itu, cukup bisa memicu senyum meski di wc yang bau, membuatku ingat ke tukang kritik. Kira-kira, apakah si Suto senang melakukan kritik karena sayang pada perusahaan? Bukan karena Ia memang hobi kritik? Belum sempat jawab ku peroleh, kaki sudah kesemutan.

Aku kesemutan akibat jongkok terlalu lama, meski sebenarnya aku beol di kloset duduk. Jangan ditertawakan, meski kelihatan modern ---selaku pemimpin perusahaan---, untuk urusan ini ---mungkin untuk masalah lain juga----, aku memilih jadi ndeso.

Tetap jongkok meski beol menggunakan wc duduk.

Jogja-17/1/08

Tidak ada komentar: