Rabu, 05 November 2008

membaca si jabar

Berbekal 'pengalaman' gabung di Radar Jember dan Nusa Bali, aku mencoba sedikit menilai Si Jabar. Kalaupun menilai dirasa terlalu berat, boleh kiranya digunakan istilah membandingkan dengan kedua media tempat aku bergabung lebih dulu itu.

Redaksi
Awak redaksi si jabar ini mencapai 15 orang di kantor biro. Mereka bertugas di pemprov 1 orang, pemkot 1, kab bandung 1, ekonomi 2, pendidikan 2, polisi kejaksaan 2, hal budaya 1, halalaman metro 3, fotografer 2. Kesemua awak redaksi ini memperoleh kesempatan libur sehari dalam seminggu.

Aku sendiri gabung dengan si jabar Juli 2008, pertama bertugas mengawal pos pilwalkot kemudian dipindah ke halaman metropolitan. Supaya lebih terang, aku akan mengulas pengalaman tergabung dalam tim pilwalkot ini.

Ada tiga kandidat dalam perebutan kursi walikota bandung, dada-ayi, taufik-abu, hudaya-nahadi. Aku kebetulan disuruh ngawal si calon nomor tiga (hudaya-nahadi). Perintah yang diberikan padaku, setiap kegiatan calon ini harus dikawal. Setiap hari pun setidaknya harus ada berita mengenai mereka.

Sehari, dua hari pertama, mengawal cawalkot enjoy saja. Berita pun lumayan bagus, terutama karena masih ada konflik yang bisa dimainkan. Mulai dari strategi menarik simpati massa sampai cara kampanye. Tapi seiring berjalan waktu, konflik yang menjadi pola semua pilkadal itu mulai membosankan.

Konflik tidak begitu kuat lagi. Akhirnya seringkali berita jatuh menjadi berita service. Parahnya, si redaktur tidak mengolah supaya berita servis ini memiliki nilai konflik. Sebab menurutku, konflik atau power of game inilah kekuatan berita politik.

Kerena redaktur tidak mengolah berita ketiga wartawan pilwalkot menjadi berita konflik, hampir satu bulan halaman khusus pilwakot tidak ubahnya halaman advetorial. Tiap berita ketiga calon menunjukkan kelebihan masing-masing melalui berita narsis itu. Singkat cerita, moment pilwakot usai dengan kesimpulan berita selama momen itu lebih tepat disebut advetorial, berita servis yang minim memiliki nilai berita.

Sekitar bulan September, aku dipindah ke halaman metropolitan, dengan tugas membuat hl halaman itu. Tidak ada pos khusus, hanya bertugas membuat berita HL setiap hari. Tugas ini dikerjakan berdua dengan temanku.

Perlu juga diinformasikan, bahwa hl disusun berdasarkan isu, meski kadang-kadang kejadian bisa disusun menjadi hl pula. Kondisi ini memaksa kita berdua - aku dengan wisnoe - memikirkan isu perkotaan yang layak dijadikan hl. Lambat laun kita pusing juga, karena kehabisan isu karena kurangnya kreatifitas.

Kondisi ini membuat aku mengusulkan proyeksi berita setiap pagi hari. Proyeksi ini sendiri bertujuan, supaya wartawan ke lapangan tidak dengan ide kosong. Melainkan ada isu yang dikejar. Selain itu, proyeksi memudahkan pemetaan berita, ide bagus, ide lemah yang bisa diperkuat, dsb. Pemetaan pada akhirnya memudahkan perkiraan kebutuhan berita di halaman.

Keuntungan lain, dengan proyeksi, kawan redaksi lain bisa membantu ide untuk HL. Banyak memang keuntungan proyeksi, namun sayangnya hanya tiga orang yang datang pada tiga hari pertama proyeksi. Padahal proyeksi ini sendiri dimulai jam 9. Akhirnya proyeksi pagi hari gagal.

Waktu pun berlalu lagi tanpa proyeksi. Sampai seusai lebaran 1419 h, sekitar bulan oktober proyeksi digalakkan kembali. Perbedaan dengan sebelumnya, proyeksi dilakukan malam hari. Seusai ngetik, awak redaksi rapat, membuat daftar agenda besok dan melisting isu hl metro esok hari.

Rapat tiap hari berjalan lancar. Hanya saja kelemahannya, rapat seolah hanya menjadi ajang wartawan menyetor agenda. Tidak ada eksplorasi rencana setiap awak redaksi keesokan hari kemana. Tidak ada tukar pendapat mengenai pembuatan isu yang cocok diangkat masing-masing desk esok hari. Praktis proyeksi malam hari ini tidak berbeda dengan setor agenda saja.

Oh ya....akibat proyeksi malam hari pula, wartawan bisa seenaknya ke lapangan esok harinya. Berangkat jam 11 atau 12 siang pun tidak ada yang mengetahui.

Para redaktur dan Asisten Redaktur si Jabar bertugas di Jakarta. Mereka menerima berita mentah dari wartawan, mengolah, melay out di sana pula. Setiap harinya mereka melisting berita setiap pukul 17.00 Wib, hanya saja sering kali mereka hanya melisting, tidak mengarahkan. Maklum saja, jam segitu wartawan sudah dikantor, tidak mungkin menambah data di lapangan.

Sekedar membandingkan dengan nusa bali, proyeksi di media yang mementingkan berita - dengan slogan : yang penting beritanya bli dilakukan pagi hari, pukul 08.00 Wita. Kegiatan ini biasanya berakhir pukul 09.00 Wita. Saat wartawan memasuki ruang rapat, mereka dihadapkan pada empat koran, nusa bali, bali post, jawa pos dan denpost. Berebutan para wartawan ini membaca berita di koran tersebut.

Tujuannya mencari isu atau ide yang bisa dilistingkan saat proyeksi. Selain mencari ide, membaca koran sekaligus membandingkan berita yang ditulis dengan koran lain. Juga membandingkan apakah wartawan bersangkutan kebobolan berita. Tentu tidak ketinggalan kegiatan narsis, membaca tulisan sendiri.

Kegiatan proyeksi ini dilakukan enam hari dalam seminggu kecuali hari minggu pagi. Tanpa proyeksi, kawan redaksi serasa merdeka, minimal bisa mencuci baju. Perlu diketahui pula, di nusa bali tidak mengenal libur mingguan, kecuali hari libur nasional.

Sekitar jam 09.00 Wita, kawan wartawan meninggalkan kantor. Selepas dari gerbang kantor, kegiatan yang hampir selalu dilakukan makan pagi sekaligus proyeksi kedua. Makan, ngopi, rokokan plus ngrumpi. Baru sekitar pukul 09.30 atau 10.00 Wita para wartawan pergi ke target masing-masing.

Setelah bergelut dengan sinar matahari, debu dan cipratan ludah narasumber, sekitar pukul 13.00 - 14.00 wita telepon genggam setiap reporter berbunyi. Redaktur yang memimpin proyeksi pagi menelfon, meminta daftar belanja, daftar berita yang sudah diperoleh wartawan di lapangan.

Ada kalanya, kawan wartawan sudah mempunyai berita, tetapi tidak jarang pula belum memiliki sama sekali. Atau berita yang di dapat kurang lengkap. Meskidemikian mereka terpaksa menyebutkan daftar itu. Sebab daftar ini akan dibawa rapat redaktur sekitar pukul 15.00 wita.

Rapat redaktur ini tidak kalah serem. Meski belum pernah ikut langsung, informasi dari berbagai sumber setidaknya masuk akal. Serem karena rapat ini melakukan evalusi terbitan pada hari itu. Kekurangan berita, kebobolan sampai kelemahan redaktur. Semacam pengadilan bagi para peserta rapat dan wartawan secara tidak langsung.

Pun, dalam rapat ini diendus berita yang beraroma titipan, ada uangnya dsb...dsb. Bisanya rapat selesai jam 16.00 - 17.00 wita.

Bisanya kawan wartawan datang pukul 17 wita, kemudian mengetik. Sekitar pukul 18.00 Wita, bersamaan dengan derap tuts komputer wartawan, telefon kantor berdering. Penelponnya agen yang memesan koran. Berapa banyak mereka memesan koran esok harinya. Jumlah pemesan penting karena, koran ini paling mahal di bali Rp 3000 dan dipesan sesuai jumlah order.

Berita yang diketik wartawan bisanya masuk pukul 20.00 wita. Di edit, dilay out dan diprint sekitar pukul 23.00 Wita. Hasil print sementara itu diperiksa baru kemudian pukul 01.00 wita berangkat cetak. Saat hasil print keluar, para wartawan baru bisa bernafas lega, pulang atau nongkrong untuk melepas penat.

Berdasar perbandingan di atas, terlihat bahwa sistem si jabar sangat longgar, dan sebaliknya dengan si nusa bali. Layaknya spion, perbandingan ini hanya untuk menunjukkan apa yang pernah ada, dan apakah bisa untuk bekal menghadapi perjalanan ke depan. ***

Tidak ada komentar: